2/26/2009

Al Ghazali, Sang Laut yang Dalam


Kabar Indonesia - Laut yang dalam, sebutan itu memang pantas disematkan pada sosok Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, atau yang lebih dikenal dengan nama Al Ghazali. Sebagai filsuf, sosok yang lahir pada abad ke-11 ini dikenal sebagai salah satu atau bahkan “memang” yang terbesar yang pernah hadir di muka bumi ini. Kebesaran pria kelahiran Iran ini bukan hanya terlihat dari kedalaman analisa keilmuannya saja, tetapi juga pemahamannya akan kebijaksanaan dalam mengawal kebijakan dalam hidup.
Sejak masih kanak-kanak, multy talented scientist ini selalu haus akan ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat sejak ia mulai bersekolah di sebuah perguruan tinggi di Nidzamiah. Di lembaga pendidikan yang dianggap sebagai salahsatu yang terbaik pada masa itu, ia mempelajari ilmu filsafat, ilmu komunikasi, ilmu fiqih, ilmu mantiq, dan ilmu hikmah.

Al Gahazali bukan hanya mempelajari, tetapi mendalami dan “memaksa” dunia menasbihkannya sebagai tokoh ilmu-ilmu tersebut. Kesadaran akan kode etik cendekiawan yang harus menguasai dunia dan permasalahannya secara holistik membuatnya terus dan terus menggali lagi lubang-lubang permasalahan yang masih menganga.
Pria yang pada usia 34 ditugaskan oleh pemerintah untuk bersekolah di Baghdat dan memeroleh gelar doktornya di sana ini, tidak mau terjebak dalam doktrin dan dogma filsuf-filsuf yunani dan barat yang cenderung belum memahami keutuhan berpikir sebagai “ciptaan yang mencipta”.
Konstruksi keraguan filosofis dan solutif menjadi dasar pergerakan keilmuan pria yang diangkat menjadi dosen di Universitas Nidzamiah oleh Perdana Menteri Bani Saljuk ini. Ia menganggap keraguanlah yang mengantarkan kepada kebenaran. Jika ada orang yang tidak pernah ragu, maka ia tidak memandang. Keraguan filosofis ini berbeda dengan prinsip skeptisme yang digilai filsuf lain. Bilamana seseorang tidak pernah memandang, maka ia tidak pernah melihat. Dan jika orang tersebut tidak pernah melihat, maka ia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.
Meskipun prinsip keraguan itu juga dimiliki oleh filsuf-filsuf lain, terdapat perbedaan di antara esensi keraguan filosofis Al Ghazali dengan prinsip skeptisme yang dituhankan oleh filsuf lain. Keraguan Filosofis Al Ghazali merunut suatu definisi konsep hingga menembus batas wujud itu sendiri hingga mencapai suatu kebenaran yang absolut. Dengan kata lain, Al Ghazali memandang bahwa absolute reality dapat tumbuh dari
pemikiran yang mencoba memahami adanya kenyataan yang tidak lepas dari konsep yang terlanjur terlepas. Hal ini berbeda dengan prinsip general skepticism. Skeptisme yang secara umum berkembang, khususnya di eropa, cenderung memaksakan perlawanan atas suatu konsep dan sampai satu titik dimana pemakainya menganggap bahwa
pemikirannya akan selalu berada pada titik terdalam.
Pria yang ditasbihkan sebagai Bahrun Muhriq ini selalu mengedepankan argumentative discussiondalam menjawab keraguan ilmiah sekaligus menampilkan pemikiran-pemikirannya.
Al Ghazali juga mengadakan dialog dengan para ulama di depan Perdana Menteri Nidzam Al-Muluk, yang mana pada saat ini penguasaan Al Ghazali dalam bidang filsafat, ilmu alam, dan kecakapan berargumentasinya membuat kagum para pemimpin negara, ulama, dan ilmuan lintas disiplin, bahkan yang berdatangan dari Eropa dan Asia timur.
Relasi Agama dan Matematika.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Munqidz Minadh-Dhalal, Al Ghazali berpendapat bahwa jika seseorang sudah terpaku hatinya memercayai matematika, hal ini disebabkan dorongan hati yang tertarik kepada para ulama dengan cara taqlid, maka itu tidak dapat mengalahkan dalil itu, bahkan ia akan didorong oleh hawa nafsu sombong dan keinginan-
keinginan lainnya agar dipandang sebagai orang pandai yang berpandangan teguh kepada para filsuf yang bertalian dengan segala ilmu pengetahuan.
Al Ghazali mengatakan bahwa agama tidak melarang pemikiran matematis. Tapi, seseorang yang terpikat pada ilmu matematik tanpa penguasaan nafsu, berpikir terlalu sederhana, dan tanpa penguasaan hidup yang komprehensif, hanya akan merusak diri dan menyesatkan dirinya dalam rayuan para filsuf anti-agama. Sebab, ketika seseorang
dibutakan oleh nilai-nilai wajib empiris, dia tidak akan mampu menembus ranah metafisik yang sejatinya juga eksis dalam hidup dan kehidupannya. Pada titik itulah mereka tidak akan sanggup berpikir holistik, bahkan mereka akan mengalami kebingungan dan misidentify akan apa dan siapa mereka sebenarnya.
Hal ini berkaitan dengan pendapat Al Ghazali yang khawatir akan peran logika dalam diri manusia. Dalam hal ini, Al Ghazali juga mengatakan bahwa agama tidak pernah melarang atau memerintah untuk berlogika. Karena memang elemen-elemen logika (alasan, silogisme, dan definisi) mau tidak mau juga terpakai dalam ranah kehidupan beragama ketika menyatu dengan suatu peradaban.
Menyatu Dengan Kebijaksanaan
Seorang yang bijaksana sejatinya dapat memilah yang benar juga yang baik sesuai dengan dirinya dan kecintaannya pada konteks dirinya. Maka, haram hukumnya seseorang menyebut dirinya filsuf jika gagal memandang ke dalam dirinya sebelum mencoba menerobos terrain fence
orang lain.
Seolah membuktikan kefilsafatan dirinya, Al Ghazali memutuskan mundur dari pekerjaannya sebagai seorang guru ketika ia menyadari kalau ia telah menipu dirinya sendiri. Saat itu pria bergelar Hujjat al Islam ini mendapati objection disorientation pada motivasinya dalam mengajar.
Demi mendapat jabatan dan ketenaran ia anggap sebagai dosa besar dan secara khilaf hal itu terjadi pada dirinya (lihat: Al Wafa 1985). Pada saat kesadaran itu timbul, seketika itu juga ia memutuskan untuk hengkang dari ranah pendidikan formal dan memutuskan untuk hijrah ke Palestina.
Di sana ia lebih banyak merenung, membaca, dan menulis di Masjid Baitul Maqdis. Dan tanpa disadarinya, pada saat itulah ia terbentuk menjadi filsuf sejati. Memandang hidup dan kehidupan dengan cinta dan kebijaksanaan.

0 comments: